Semalam Kajian Islam Basmala (Kalam-Basmala) perdana semester ini.
Peserta membludak memenuhi ruangan, membuat senyum terkembang penuh
harap. Sebuah kemustahilan jika berkaca dari Kalam satu tahun lalu
dengan peserta yang sangat jarang melebihi jumlah jari tangan dan kaki.
Semoga ini menjadi awal yang baik bagi pergerakan dakwah kami tahun ini,
dan akan terus membaik. Semoga kami
para pengurus, pun teman-teman Basmala selalu diringankan untuk
melangkahkan kaki dalam kebaikan, dengan niat yang selalau diluruskan.
Ada
sedikit oleh-oleh, atau anggaplah ini notulensi dari jemari yang
tergerak untuk menari bersama ekspresi hati. Tak berharap banyak, moga
saja tulisan ini dapat bermanfaat.
“Cinta dalam Pandangan Islam”
menjadi bahasan kajian semalam. Sang Ustadz, dengan ekstrim membawakan
materi dengan judul “Izinkan Aku Pacaran!”. Kata pacaran seringkali
disandingkan dengan cinta. Berbicara tentang cinta, selalu menjadi daya
tarik tersendiri bagi mahluk-mahluk galau, terutama mahasiswa tingkat
menengah ke atas. Cinta itu fitrah. Apapun yang tidak sesuai dengan
fitrah, yang masuk ke dalam diri kita, akan menyakiti dan melukai. Jika
begitu, apakah yang kita rasakan saat ini cinta? Apakah penyebab kita
berlarut-larut curhat sambil menangis itu cinta? Apakah status-status
menyakitkan tentang si dia selama ini karena cinta?
Cinta bukan
sekedar ekspresi perasaan seorang ikhwan. Cinta lebih dari itu, begitu
kata Ustadz Eri. Cinta itu rasa sakit seorang bunda ketika 9 bulan
mengandung. Cinta itu kelelahan seorang bunda ketika 2 tahun menyapih.
Cinta itu kesabaran bunda saat mengantar dan menjemput anaknya ke
sekolah. Cinta itu tetes lelah ayah yang rela berpeluh demi buah hati.
Dari kesemua itu, bermuaralah cinta dari Sang Pencipta yang tak pernah
melupakan makhluk-Nya. Lalu pada siapa selama ini kita melabuhkan cinta?
Another one? Sungguh tega.
Rasa suka, juga cinta adalah fitrah.
Kesalahan justru muncul dari para pencinta sendiri. Penyebabnya adalah
rasa takut, ketidakberanian untuk mengungkapkan cinta. Bukan
mengungkapkan dalam konteks untuk menjadi seorang pacar, itu hanya
mengubah ketidakberanian menjadi ketidakbertanggungjawaban. Karena
ketenangan juga kedamaian tidak akan didapat dari proses berpacaran.
Lalu bagaimana? Mudah saja, jika sungguh dirimu cinta, sampaikanlah pada
yang berhak melepasnya untukmu.
Allah berfirman: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan,
anak-anak, harta benda yang bertumpuk, dalam bentuk emas dan perak,…”
Q.S Al-Imran:14. Muslim ra. mengatakan bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah. Jika boleh, dapatlah dibentuk kalimat wanita adalah perhiasan yang bisa menjadi indah. Mengapa harus bisa menjadi?
Bukankah wanita memang indah? Mengutip ucapan sang ustadz, dalam ilmu
estetika, perhiasan akan terlihat indah jika memenuhi tiga syarat, yatu
waktu, tempat dan cara. Dari ketiga syarat tersebut dapat ditarik
simpulan kapan wanita akan terlihat indah, yaitu ketika setelah
menikah (waktu), dalam berumah tangga (tempat), dengan cara menikahinya
(cara). Meski begitu, menikah pun tidak sesimpel hanya karena cinta.
Muarakanlah hanya karena Allah, karena dengan ridha Sang Baqa, mahligai
pernikahan dapat dinaungi dengan kekekalan.
Kembali pada cinta.
Saat hati akan tergelincir dengan berteriak “Izinkan Aku Pacaran!!”,
atau sudah terjerembab pada cinta yang bukan haknya, bangkitlah lagi.
Tumbuhkanlah kemauan untuk bangkit dan memperbaiki diri dengan mengingat
semua pengorbanan orang-orang yang mencintai kita sepenuh hati. Jika
perlu, bandingkanlah dengan pengorbaban cinta orang yang tak seharusnya
kita cinta. Optimis sekali, hati putih akan berkata bahwa kita keliru
dalam melabuhkan cinta.
Selasa, 30 September 2014
Selasa, 12 Agustus 2014
My Beloved Father
“Kullu nafsin dzaaiqotul mauut…” (Al-Ankabut:57)
Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Aku tahu itu,
dan sangat paham karena kau yang mengajarkanku, Pak. Sikap zuhudmu yang selalu
mengingatkanku bahwa manusia takkan selamanya di dunia, dan akhiratlah tujuan
yang sesungguhnya.
***
“Ma, bapak apa kabar?”
“Alhamdulillah sudah membaik, sudah agak stabil, tapi
masih harus kontrol. Engga apa-apa, fokus saja belajar, De. Kalo yang ngurusin
bapak mah mama dan yang lain ko.”
“Iya, kan masa aku sama sekali engga nanyain kabar
bapak.”
“Iya, berarti itu tandanya kamu sayang orangtua.”
“Mah, bilangin ke bapak harus sehat ya, kan belom
ngewaliin aku. Hehe, becanda.”
“Iya insyaallah nanti dibilangin, tapi sekarang bapaknya
udah tidur. Tadi habis isya langsung minum obat terus tidur.”
“Oh, iya.”
Kurang lebih seperti itulah percakapanku dan mama, semalam
sebelum kepergianmu, Pak. Tidak sama sekali kumenyangka bahwa itu menjadi malam
terakhir mama mengobrol denganmu. Tidak juga kusangka bahwa esok hari aku akan
mendengar kabar yang begitu menohok tentangmu. Yang jelas malam itu aku tidur
nyenyak, karena esok pagi aku akan pergi ke Bandung, menghadiri acara
pernikahan Kaka tingkatku. Aku pernah bilang padamu, kan Pak?
Pagi hari aku bangun seperti biasa. Aku maklum karena
keadaanmu yang sekarang, dirimu sudah lama tidak lagi membangunkanku saat
subuh. Namun pagi itu ada panggilan tak terjawab dari nomormu. Kufikir kau
berniat membangunkanku. Aku tak ambil pusing. Tak lama, muncul sms yang
mengatakan aku harus pulang hari itu dan membatalkan kepergianku ke Bandung. Why?
Bahkan semalam mama menyuruhku untuk tidak khawatir tentangmu, tapi kenapa
sekarang menyuruhku pulang?? Terbersit fikiran yang tidak-tidak tentang, namun
meski aku tidak diberitahu dengan jelas tentang keadaanmu, aku tahu dirimu masih
ada.
Sempat aku merasa kesal. Maafkanku, Pak. Tapi aku tetap
memilih pulang. Terlebih dua hari bertutur-turut aku memang bermimpi ditinggal
pergi ke Bandung. Tidak, aku tidak begitu percaya firasat. Karena tanda-tanda
itu hanya akan terbaca setelah kejadian sebenarnya terjadi. Aku hanya menganggapnya
sebagai mimpi biasa.
Karena tidak dapat tiket kereta, aku memutuskan untuk naik
angkutan biasa. Dan kau pasti tahu kondisi jalanan Bogor-Sukabumi, Pak, begitu
padat. Bahkan untuk jarak sedekat Jakarta-Sukabumi, aku harus mengahabiskan
waktu 6 jam!! Sepanjang perjalanan aku gregetan ingin segera sampai ke rumah
sakit tempatmu dirawat.
Aku tidak pernah menangisimu sebelumnya, sebelum dirimu
sakit-sakitan. Dulu dirimu begitu gagah, tidak pernah menampakkan kesedihan dan
kesusahan. Sebaliknya, dirimu selalu siap mendengarkan keluh kesah kami
kapanpun. Apapun yang ingin aku ketahui, orang pertama yang aku tanya adalah
dirimu. Karena aku percaya, kau tidak akan pernah memberikan jawaban yang menyesatkan.
Melihatmu terbaring tak berdaya, dengan berbagai macam
selang yang yang menyokong hidupmu, aku tak kuasa untuk tidak menangis. Entah
kau menyadari kehadiranku atau tidak, aku hanya mampu menatapmu dan mengawasimu
diam-diam seharian itu. Bahkan hanya sekali aku mengajakmu bercakap, sekedar
mengatakan aku sudah pulang, aku ada di sampingmu. Yang kuyakin saat itu, aku
akan bisa bercakap denganmu setelah kau siuman nanti. Lekas kembali, Pak, kami
masih menunggumu.
9 jam, 12 jam, 15 jam dirimu terbaring, tak kunjung siuman.
Saat kami bersiap untuk lelap sejenak, bibi keluar dari kamarmu dalam keadaan
menangis. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menangis. Aku terkejut, sudah tentu. Namun sebelum aku
melihat sendiri, aku tidak ingin berspekulasi apa-apa. Setengah yakin dengan
apa yang kulakukan, aku berjalan menuju ruanganmu. Sudah banyak orang berkumpul
di situ, pun para dokter. Mereka melakukan resusitasi jantung-paru (RJP) untuk
kembali menormalkan denyut jantungmu. Beberapa
saat aku di tempat itu, dokter mengumpulkan aku dan kakak-kakak. Dia bilang
semua organ vitalmu sudah tidak berfungsi, Pak, hanya tersisa denyut jantung
yang semakin melemah. Dan saat juga dia meminta izin pada kami untuk melepaskan
semua alat bantu yang ada di tubuhmu, karena dirimu sudah tak bisa ditolong
lagi. Dirimu sudah pergi, Pak!! 9 Agustus 2014, itu hari terakhirmu ada di
dunia. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.
Kendatipun sudah kusiapkan telingaku untuk mendengar kabar
ini, tak begitu dengan mentalku. Tetap saja aku melemas dengan air mata yang
kembali membanjir. Kaki dan tanganku kebas bagai tak berdarah. Anak mana yang
tidak sedih ketika orangtua yang disayanginya terbujur kaku di depan mata dan
dinyatakan meninggal oleh orang asing yang baru ditemuinya? Kau bisa tahu
perasaanku kan, Pak?
Saat aku digandeng keluar ruangan, kulihat pemandangan yang
memilukan dari mama. Adik-adiknya berusaha menenangkan mama, meski sekilas
kulihat merekapun mesakan kesedihan atas kepergianmu. Malam itu juga kami
berkemas pulang, tidak jadi bermalam di rumah sakit. Sedih sekali kepulangan kami
kali ini bukan membawa dirimu, hanya membawa jasadmu, Pak.
Kesedihanku, mama, dan semua orang malam itu begitu hebat
sehingga mampu memupus rasa lelah kami hari itu. Berkali tangisan mama kembali
meledak. Bersyukur aku memiliki kakak-kakak yang tegar dan siap meminjamkan
bahunya untukku dan mama. Malam itu, aku menatap jasadmu yang diam tak
bergeming. Demi apapun aku sangat takut pada mayat, tapi aku kini duduk di
samping kepalamu yang takkan pernah mampu menoleh lagi saat aku memanggilmu.
Dulu kau sering bilang “Untuk apa takut pada mayat, mereka takkan bisa bangkit
lagi. Jangan berfikir orang mati akan sempat bergentayangan menakutimu,
mengurusi urusannya dengan Allah saja dia sudah sangat sibuk”. Sembari
membacakan ayat-ayat cinta dari Sang Pemilik Yang Telah Memanggilmu, aku terus
mencuri pandang padamu, berharap dadamu kembali naik-turun. Meski kutahu itu
hanya harapan kosong.
Bapak, dulu aku tidak begitu tahu bagaimana orang-orang menganggapmu.
Pagi ini, demi melihat begitu banyak orang yang berbondong-bondong ikut serta
menyolatkan dan menguburkanmu, aku yakin dirimu bukan orang ‘sembarangan’ bagi
mereka. Diantara pelayat, hanya sedikit yang aku kenal, tapi kebanyakan mereka
mengenalku. Aku tersadar, ternyata dirimu begitu bangga padaku, bangga
dengan prestasiku yang tidak seberapa
hingga selalu menceritakanku pada teman-temanmu. Mereka mengenalku karena kau,
Pak. Semasa kau hidup, aku akui aku tidak begitu dekat denganmu. Tapi tentu kita
saling menyayangi.
Langit mendadak suram, mendung, tidak panas, pun tidak
menunjukkan tanda akan turun hujan. Cuaca pun mendukung pemakamanmu, Pak.
Kuyakin di antara kami ada para malaikat sudah berbaris, siap mengikuti proses
serah terima ini. Kami menyerahkanmu, para malaikat menerima dan mengantarkanmu
ke hadapan Ilahi Rabbi. Aku yakin itu, karena kau orang baik, Pak. Orang-orang
menyalamiku, menguatkanku, aku mengangguk. Tangan-tangan silih berganti
menggandengku, mungkin khawatir aku akan ambruk.
Proses selesai. Salah satu dosenku pernah bilang, manusia
akan melewati tiga gerbang: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Bapak sudah
melewati semuanya. Tugas bapak di dunia ini sudah selesai. Aku tidak begitu
khawatir melepasmu, Pak. Lisanmu yang selalu basah dengan ayat-ayat Quran
kuharap dapat meringankanmu saat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari malaikat.
Pun dengan amalan-amalan yang lain, kuharap itu menjadi bekal yang dapat
menyelamatkanmu di sana.
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda: Jika anak
Adam meninggal, maka amalnya akan terputus kecuali tiga hal, yaitu sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak-anak sholeh/sholehah.” (HR Muslim)
Perkara pertama, hanya dirimu dan Allah yang tahu. Untuk
perkara kedua, aku berdoa semoga bertahun-tahun masa pengabdianmu menjadi
pengajar dapat mengantarkan pahala atas semua ilmu yang telah kau manfaatkan.
Dan perkara ketiga, inilah kesempatan kami, anak-anakmu, untuk membantumu di
alam kubur sana, menjadi anak-anak yang sholeh agar segala doa kami dapat
dikabulkan oleh-Nya.
Jika kumelihat ke belakang, begitu banyak hal ganjil pada
dirimu. Kau selalu mengantar keberangkatanku saat aku harus kembali menjalani
rutinitasku di tempat rantau, namun tak pernah menjemput kepulanganku. Namun
kepulanganku saat Ramadhan kemarin, kau menjemputku di statsiun, bahkan tanpa
memberi tahuku terlebih dahulu. Kuingat wajahmu saat itu masih terlihat ceria,
sumringah dengan kedatanganku.
Kita menjalani Ramadhan bersama, meski kurasa beda. Karena
kondisimu, kita tidak lagi rutin salat malam berjamaah. Aku bersyukur,
setidaknya satu malam aku pernah bermakmum padamu, untuk terakhir kalinya.
Semakin hari wajahmu semakin tirus, sudah langka menampakkan senyuman, lebih
sering kulihat matamu menatap kami dengan sedih. Mungkin saat itu dirimu sudah
tahu waktumu akan segera tiba.
Begitulah
perasaanku kini, Pak. Sengaja kutuliskan segera, sebelum rasa ini memudar
terpupus waktu.
Walau
begitu, yakinlah, Pak, kami tidak akan pernah melupakanmu. Kepergianmu
merupakan harga yang begitu mahal yang harus kami bayarkan untuk mendapatkan
tamparan keras agar kami kembali menyadari tujuan hidup, serta terus
memperbaiki diri.
Selamat tinggal, selamat beristirahat. Jika kau sempat,
berkunjunglah sesekali ke dalam mimpi kami. Seperti tadi malam, saat kau datang
dengan senyuman yang merekah, setidaknya itu menenangkanku bahwa kau baik-baik
saja di sana.
Semoga kau termasuk jiwa-jiwa yang tenang yang diridhai Allah
untuk memasuki syurga-Nya, seperti yang dijanjikan dalam surat Al-Fajr.
Untuk Bapak tersayang.
Depok, 12 Agustus 2014
Selasa, 10 Juni 2014
Love You...
Ketahuilah, saat hati ini tergerak untuk membenarkan, bukan
berarti diri sudah benar dan sempurna. Khilaf kalian kini, mungkin menjadi khilafku
di masa lalu. Kesalahan kalian kini, mungkin pernah menjadi kesalahanku dulu. Kalian
tahu? Kini aku menyesal dan tak bisa memutar waktu. Yang bisa kulakukan
hanyalah mencegah kalian terlambat menyadari kesalahan dan merasakan
penyesalan.
Orang yang dapat mengoreksi kekurangan sahabatnya itu mahal,
padahal saling menasihati dalam kebaikan itu sangat dianjurkan. Kita mungkin
akan sangat mudah mengenali kesalahan dan kekurangan orang lain. Namun adakah
keberanian dalam diri kita untuk menyampaikan kepada orang yang bersangkutan? Sangat
jarang. Tinggallah kata-kata itu tersangkut di dalam kerongkongan tanpa pernah
terucap oleh lidah.
Kita tidak pernah tahu, seberapa besar efek yang ditimbulkan
jika kita berani mengoreksi kekurangan sahabat kita. Hanya butuh keberanian,
bukan barang mahal tapi sangat langka. Analogikan saja sahabat kita adalah seseorang
yang rajin telat. Semakin lama ia menjadi aktivis telat kelas akut sehingga
demikian banyak orang yang menggunjing dan tidak menyukainya. Andaikan sedari
awal kita mempunyai keberanian untuk menegurnya, saat kebiasaannya tersebut
belum mendarah daging, mungkin hal buruk ini tidak pernah terjadi pada sahabat
kita tercinta.
Ada kalanya kita merasa ragu untuk berkata karena tingkah
laku kita yang masih ada cela. Cobalah berfikir dari sisi lain. Manusia tidak
akan pernah sempurna. Jika untuk mengoreksi kita harus menjadi orang benar dulu,
sampai mati pun kita tidak akan pernah berkesempatan untuk melakukannya. Apa salahnya
kita menegur kekhilafan sahabat kita, lalu bersama-sama memperbaiki diri? Bukankah
berjalan beriringan itu lebih indah dan mudah?
Kehadiranmu di hidupku adalah anugerah bagiku. Semoga kehadiranku
di hidupmu membawa berkah bagimu. Kedekatan diantara kita bukan dikarenakan
kita adalah orang baik, tapi semata-mata karena Allah masih mau menutupi aibku dari
pengetahuanmu, pun aibmu dari pandanganku.
“Jika engkau memiliki sahabat yang membawamu pada ketaatan
kepada Allah, maka genggmlah ia erat-erat, jangan lepaskan.” –Imam Syafi’i-
Jumat, 16 Mei 2014
Kajian Muslimah Terakhir
Jumat, 11.45, mushola kampus…
“Sabar itu bisa dikategorikan menjadi tiga: sabar
dalam beribadah kepada Allah, sabar dalam menahan diri untuk tidak berbuat
maksiat, serta sabar dalam mengahadapi musibah.
Sabar dalam beribadah kepada Allah banyak
bentuknya, salah satunya adalah sabar dalam melakukan sholat. Misalnya si saat
sholat empat rakaat kita hanya berdurasi 2 meni, orang sholeh lain mungkin
mampu melakukan sholat subuh selama 5 menit atau lebih. Sholat yang terburu-buru
seperti itu bisa mengindikasikan ketidaksabaran kita dalam beribadah. Sholat
adalah doa, melakukan sholat berarti juga berdoa. Bagaimana bisa kita ingin keinginan
kita dikabulkan oleh Allah sedangkan dalam berdoa saja kita tidak bisa
bersabar?
Maksiat bisa timbul dari semua indera yang
dimiliki oleh manusia, melalui penglihatan, pendengaran, ucapan, juga melalui sentuhan.
Menahan diri dari melihat lawan jenis yang bukan mahram termasuk ke dalam
bersabar. Menahan diri untuk tidak mendengarkan pembicaraan yang tidak
bermanfaat termasuk ke dalam bersabar. Menahan diri untuk tidak berucap selain
hal yang benar dan bermanfaat, termasuk usaha untuk bersabar. Pun menahan diri
untuk tidak menyentuh atau bersentuhan dengan yang tidak halal, merupakan
kategori dalam bersabar.
Kategori ketiga merupakan yang lumayan berat,
jarang sekali orang mampu bersabar ketika dihadapkan pada sebuah ujian atau
musibah. Padahal, dalam Al-Quran sendiri Allah sudah menekankan bahwa apapun
yang menimpa orang beriman, akan bernilai kebaikan. Jika ia mendapat anugerah
ia akan bersyukur, dan jika ia mendapat musibah ia akan bersabar. Masyaallah…”
“Nah, lalu bagaimana dengan bersabar dalam menghadapi
problema sehari-hari dengan teman ataupun lingkungan?? Seringkali kita ‘dipaksa’
untuk bersabar terhadap tingkah orang-orang di sekitar kita yang terkadang ‘nyebelin’, padahal kan sabar ada batasnya.”
“Allah tidak akan membiarkan seseorang yang berusaha
menjadi baik tanpa memberinya ujian. Bisa jadi teman-teman atau orang-orang di
sekitar kita yang kadangkala bertingkah ‘unik’ sebenarnya merupakan ladang kita
untuk bersabar, ladang kita untuk menaikkan derajat kesabaran kita.
Perlu diketahui, sabar itu tidak ada batasnya,
karena ganjaran yang telah dijanjikan Allah terhadap orang-orang yang mampu
bersabar pun merupakan kenikmatan yang tidak ada batasnya. Hanya saja sabar
bukan berarti selalu diam. Ingat, sabar bukan berarti diam. Kita
contohkan saja dalam sebuah organisasi ada satu oknum yang sedikit bermasalah. Setiap
amanah yang diberikan kepadanya tidak pernah terselesaikan. Sekali dua kali
mungkin kita bisa bersabar dengan diam. Namun, hal ini tidak bisa dibiarkan
terus berlanjut. Oknum macam ini bisa menjadi virus yang menular dalam sebuah
organisasi jika tidak ditindak tegas. Teguran secara personal atau melalui
orang yang lebih mempunyai power bisa dijadikan sebagai alternatif untuk
memangkas virus macam ini.”
Jumat, 16.15, ruang kelas…
“Tau ga? Masa tadi orang itu bertingkah lagi. So’ mau
berkontribusi banyak di acara divisi kita, tugas dia di divisinya aja kagak
kelar-kelar. Show up banget.” Omelku sambil mencorat-coret kertas
kosong. Sosok di sampingku diam saja, aku tidak puas.
“Nah terus, si itu, yang make up nya menor itu,
dia sama temen-temennya tadi berisik banget coba pas di toilet, ambisius banget
tuh dia mau naik jadi ketua Padus.”
“Ssst, inget kajian tadi siang.” Ucap suara di
sampingku lirih.
Astagfirullah, aku langsung diam. Jawabannya
sangat singkat, tapi cukup mampu membuatku berfikir bahwa waktu yang aku
luangkan untuk menghadiri kajian tadi siang menjadi sia-sia.
Sekedar refleksi, disadari ataupun tidak,
seringkali ilmu-ilmu yang telah telinga kanan kita tangkap, akan keluar lagi
dengan lancar lewat telinga kiri. Ilmu Consumen Behavior mengatakan: manusia
hanya akan mendengar apa yang ingin ia dengar. Jadi, mungkin saja terpentalnya
semua informasi yang kita dengar disebabkan karena kita tidak ingin atau tidak
enjoy mendengarkannya. Begitupun dengan materi-materi kajian. Seberapa banyakpun
kajian yang diikuti dengan materi-materi yang menarik, tidak akan mampu merubah
perilaku kita jika dalam hati kitanya saja masih ada noktah kotor yang
menghalangi kita untuk menerima kebenaran.
Sabtu, 03 Mei 2014
Kebangkitan Raisa
Raisa menghampiri ayahnya, Pak Muslim. Di hadapan mereka
telah duduk seorang pria tampan dengan pakaian yang sangat rapi. Sempat Raisa
tak mengenali sosoknya, namun sejurus kemudian ia tertegun. Segaris alis hitam
tebal di atas matanya menyadarkan Raisa bahwa orang itu bukan orang asing
baginya.
“Nah, ini putri bapak, Raisa.” Pak Muslim memperkenalkan
Raisa kepada pemuda tersebut, “Isa, perkenalkan, pria di hadapanmu ini adalah
orang yang bapak kenal baik selama kamu bersekolah di Turki. Dia yang selalu
menemani bapak menghadiri pengajian-pengajian. Tahun lalu dia baru saja
menyelesaikan S2 nya dan kini sudah bekerja di salah satu perbankan syariah.
Kedatangannya kali ini mempunyai maksud yang baik bagimu, insyaallah.” Pak
Muslim meneguk kopi yang dibuatkan istrinya, “Nah, sekarang, sampaikanlah
langsung maksudmu yang tadi sudah kau ceritakan pada bapak, Nak.” Pak Muslim
berkata lembut pada pemuda tersebut.
“Ada apa ini, Pak?” Raisa yang baru saja datang dari kajian
tentulah heran. Alih-alih menjawab pertanyaan putrinya, Pak Muslim malah tersenyum
dan menyuruh putrinya untuk duduk bersamanya.
“Emh, Hai, Isa. Apa kabar?” Pria itu mulai berbicara. Raisa
menjawab pertanyaannya lirih.
“Maaf jika terkesan tergesa dan mendadak. Tadi sudah sempat
saya sampaikan pada Bapak tujuan saya datang kemari. Jika Allah mengizinkan,
dan jika kamu berkenan, saya bermaksud untuk melamarmu….”
***
7 tahun lalu
“Isa, pulang bareng yuk.” Andre menjajari langkah Raisa.
“Aku masih ada kelas, duluan aja.” Jawab Raisa sambil
tersenyum.
“Aku tunggu deh. Nanti kabari ya.” Andre membuat janji
sepihak. Setengah bingung, Raisa tak bisa menolak.
Kelas Kalkulus tidak begitu menarik bagi Isa. Dua jam yang
terasa sangat lama, akhirnya usai. Andaikan bukan mata kuliah wajib bagi
mahasiswa tingkat satu, ia tidak akan pernah mau mengambilnya. Raisa berjalan
menyusuri koridor kampus. Hampir saja dia melupakan Andre jika pemuda itu tidak
segera berlari dan muncul di hadapannya.
“Yah, kok gak ngabarin?” Protes Andre dengan nafas
tersenggal.
“Eh, ini baru mau gue kabarin.” Kilah Raisa sambil mengambil
ponselnya.
“Ya udah yuk pulang.” Andre berjalan di sampingnya.
Sepanjang perjalanan, keduanya tak henti bercakap. Maklumlah
teman baru, segala informasi dikorek demi menjadi teman yang dapat saling
memahami. Sifat Andre maupun Raisa yang humble membuat keduanya mudah akrab,
terlebih mereka merupakan perantau yang berasal dari daerah yang sama. Raisa
merasa menemukan tempat bergantung di dunia baru yang asing. Begitupun
sebaliknya, adanya Raisa membuat Andre merasa menjadi orang yang dapat
diandalkan.
Minggu berganti bulan, hubungan Raisa-Andre semakin akrab.
Meski tak selalu bersama, komunikasi mereka tidak pernah terputus. Khalayak
menduga mereka berpacaran. Namanya remaja, ketertarikan antar lawan jenis menjadi hal yang sudah
biasa. Meski terkadang merasa bersalah pada seseorang, Raisa selalu berfikiran
tidak ada yang salah antara hubungannya dengan Andre. Dia catatkan dalam
hatinya, dirinya dan Andre hanya berteman.
Handphone putih itu bergetar, sebuah pesan masuk. Sekilas
Andre melirik, tertangkap sebaris nama oleh matanya. Raisa segera membalas
pesan tersebut.
“Izzi?” Tanya Andre.
Raisa mengangguk, “Hari ini dia kerja shift malam.”
Terangnya sambil kembali meletakkan HPnya.
Kali ini mereka sedang berada di salah satu tempat makan,
menikmati dinginnya malam kota Bandung.
“Sa, boleh ngomong sesuatu?” Andre memecah keheningan yang
tiba-tiba tercipta.
“Ngomong aja sih, Pak, biasanya juga bawel.” Ujar Raisa
sambil tertawa.
“Hehe. Penasaran aja, sebenarnya hubungan kita ini apa sih?”
Andre menatap mata Raisa serius.
Meski sudah menerka, tak urung Raisa terkejut juga, “Hubungan
kita… ya temanlah, memangnya apa? Ayah dan anak?” ujarnya bergurau, berusaha
menyembunyikan keterkejutannya.
“Begitu kah? Pengen tahu aja sih bagaimana dari sudut
pandang loe. Gue fikir kita lebih dari teman.” Tukas Andre. Lagi-lagi hening.
Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, saling menyelami hati sang lawan
bicaranya. Gagal memecah suasana yang kadung membeku, keduanya memutuskan untuk pulang.
Mentari menyusup dicelah gorden bermotif ribbon. Raisa masih
bergelung dengan selimut. Baginya, minggu pagi adalah saat yang tepat untuk melengkapi
jatah istirahatnya yang disunat setiap malam-malam weekdays. Tak lama kemudian,
lagu mirror berdering dari handphonenya. Setengah sadar Raisa menerima
panggilan tersebut.
“Hallo, sayang…”
“Hai cantik, lagi apa?” tanya suara pria di seberang.
“Masih tidur, hehe.” Raisa menjawab manja.
“Huuu, bangun dong, udah siang.” Ujar suara itu lagi.
“Masih ngantuk ah. Ka Izzi hari ini engga kerjakah?”
“Engga sayang, ini mau ngampus bentar lagi.”
“Ya udah, hati-hati ya.”
“Ngusir nih? Mentang-mentang masih ngantuk, pacarnya
dicuekin?” Izzi menggoda.
“hehe, biarin deh. Kan pacar Isa penyabar.”
“Aih gombal. Ya udah, kaka berangkat dulu ya sayang.
Bangunnya jangan siang-siang. Bye, miss you.”
“miss you.” Raisa menutup telepon dan melanjutkan
tidur.
Hari-hari berikutnya terkesan janggal. Sejak kejadian malam
itu, Raisa dan Andre seperti saling menjauh. Seperti kutub yang sama pada dua
magnet. Raisa bagai hidup di ruang hampa. Tanpa Andre, tidak ada yang
membuatnya bersemangat saat berada di kampus, pun saat melakukan aktivitas
lainnya. Saat tak sengaja berpapasan, Andre selalu memalingkan wajah, pura-pura
tak melihat. Raisa mulai merasa kesepian. Bahkan Izzi semakin sibuk dengan
jadwal kuliah serta pekerjaannya.
Tak tahan menjadi orang yang tak dianggap, Raisa akhirnya
berinisiatif untuk memulai percakapan. Dengan terus terang, Raisa menanyakan
pada Andre apa yang sedang terjadi diantara mereka. Dia juga bertanya apa
salahnya jika hubungan mereka hanya sebatas teman? Apakah hubungan pertemanan
tidak terlalu agung sehingga Andre menginginkan lebih? Apa salahnya mereka
saling peduli dan mengerti sebagai sepasang teman?
Setelah percakapan yang memakan waktu sekitar 1 jam, tidak
ada yang berubah. Andre tetap kukuh menjaga benteng beku diantara mereka. Raisa
menyerah.
Hubungan Raisa dengan Izzi pun semakin buruk. Komunikasi
tidak lagi selancar dahulu. Pesan dua hari sekali termasuk kategori sering bagi
hubungan mereka kini. Merasa tak lagi dipedulikan, Raisa akhirnya mundur
perlahan dari kehidupan Izzi, meski hubungannya dengan Andre tak pernah
beranjak dari status pertemanan.
***
6 tahun lalu
Siang itu gerimis. Waktu masih berbilang dhuhur, kantin
tidak begitu ramai. Raisa duduk diam, sendiri menikmati makan siangnya. Orang
berlalu lalang, namun tidak ada yang ia kenal. Ketidaksengajaan datang
terlambat membuatnya memutuskan untuk bolos pelajaran Fisika. Terlebih efek
perut kosong membuat kepalanya sedikit pusing.
“Ren, kasian banget sih orang-orang kaya lo.” Suara lantang
pria terdengar dari balik punggungnya.
“Kenapa memangnya?” sahut sang lawan bicara.
“Ya iya, keyakinan lo kan cuma lahir, hidup, terus mati.”
Jawab suara pertama. Raisa menguping, penasaran dengan arah bicara keduanya.
“Kan namanya juga keyakinan, beda-beda tergantung
agama yang dianut.” Tukas suara kedua santai.
“Ia sih, tapi ya
hampa banget gitu. Hidupnya cuma mikirin dunia, bahagia cuma di dunia juga.”
Kata suara pertama lagi.
“Halah, Lo solat aja ditinggal mulu, makan minum maen sabet
aja, kagak doa dulu. Hafal kagak lo doanya? Atau jangan-jangan kagak tau? Gue
sih kayak gini ibadah tiap minggu kagak pernah ketinggagalan bray. Kalo mau makan juga gue
doa dulu.” Si suara kedua berkata lugas.
“Enak aja kagak pernah solat. Gue tuh suka solat tauk." Protes suara pertama, "Kadang-kadang sih." Lanjutnya pelan. Keduanya tertawa, entah bagian mana yang lucu.
Raisa tersentak, seperti ada yang menampar keras dirinya.
Dia bangkit, berjalan tergesa. Dua pasang mata memperhatikan kepergiannya,
heran dengan tindakannya yang tiba-tiba. Langkah Raisa tertuju pada satu arah, mesjid. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.45.
Raisa mulai jenuh dengan kehidupan dunianya yang terus-terusan mengejar dunia. Berawal dari kejadian di kantin beberapa hari yang lalu, dia
mulai sering mendatangi mesjid. Bagai skenario yang telah disusun rapi,
kebiasaan barunya ini memberinya kesempatan untuk mengenal komunitas dakwah di
kampusnya. Bagai bertemu oase di padang pasir, Raisa meneguknya dengan
sukacita. Di sini dia merasakan suasana yang berbeda, kebahagiaan yang tidak
hanya berkutat pada kehidupan dunia, tetapi juga pada kehidupan setelah mati.
Perlahan Raisa mulai berbenah, kembali menyelami makna penciptaan seorang
makhluk bernama manusia.
Teman-teman barunya sangat ramah. Mereka menyambut Raisa
layaknya bagian keluarga yang sudah lama tak bersua. Melalui kedekatannya
dengan para akhwat tersebut, Allah menggerakka hati Raisa untuk bangkit menjadi
insan yang sesungguhnya. Keputusannya untuk berjilbab sungguh memberikan
kebahagiaan pada keluarga tak sedarah ini.
Dzohir yang sudah tertutup hijab tak serta merta mengubah
Raisa menjadi gadis alim tanpa cacat. Masih banyak yang perlu dilakukannya selain
memperbaiki akhlak, yaitu menghijabkan hati. Raisa tahu ini berat, tapi dia
yakin, hijab fisiknya akan menjadi salah satu pendorong ia untuk mencapainya.
Tertatih ia mulai melupakan Andre sang manusia salju, serta Izzi yang tak
pernah lagi ia ketahui rimbanya.
Jatuh bangun Raisa mensterilkan hati dari kontaminan-kontaminan
yang ada di sekitarnya. Memangnya dikira akhwat bersih dari godaan dari lawan
jenis? Tidak. Meski hijab telah menutup aurat, selalu ada celah bagi setan
untuk menggoda, terutama melalui makhluk berjenggot tipis bermerk ikhwan.
Tampilan yang rupawan serta akhlak menawan menjadi nilai plus yang ditawarkan
setan dalam mempromosikan ‘produknya’ ini. Pernah sekali Raisa terseret
godaan macam ini. Syukurnya para akhwat di sampingnya dengan sigap
menariknya.
Suatu ketika Raisa mengadu pada murabbinya.
“Mbak, Isa bingung sama diri sendiri. Sepertinya Isa punya
masalah serius. Isa selalu bergantung kepada sosok laki-laki, seperti
ketergantungan yang sulit dihilangkan.” Raisa memulai ceritanya.
Mbak Hasna tersenyum, “Sebenarnya itu hanya sangkaan diri sendiri. Ketergantungan kepada sesuatu
atau seseorang merupakan rasa nyaman yang timbul karena terbiasa. Bisa jadi
ketergantungan Isa kepada seorang ikhwan memang karena Isa membiasakan diri
atau telah terbiasa bergantung pada ikhwan, ya kan?” tanya sang murabbi.
“Iya, Mbak. Isa pernah berpacaran selama 2 tahun, dan Isa
merasa sangat bergantung pada orang itu.
Saat dia engga ada, Isa akan mencari orang lain yang bisa menggantikan posisi
dia.” Raisa menangis.
Kembali dengan suara lembut Mbak Hasna berkata, “Semoga
Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa kita ya dek. Bersyukurlah Dia sudah
menyadarkanmu kini. Maafkanlah masa lalumu. Mekarlah menjadi bunga yang cantik.
Janganlah dulu berfikir serangga seperti apa yang akan menghampirimu. Tahukah
sebuah ayat yang mengatakan ‘laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik,
dan sebaliknya’? Allah tidak akan menyalahi janjinya. Namun bukan berarti
dengan ayat ini hijrah kita dikarenakan sesosok makhluknya, tetap niatkan
karena Allah.”
Pembicaraan kedua akhwat itu berlanjut hingga magrib
menjelang. Sembab kentara di kedua mata Raisa, namun kini hatinya sedikit
tenang. Mulai saat itu, ia memutuskan untuk mendedikasikan hidup hanya untuk
Allah dan orang-orang yang benar-benar menyayanginya.
***
3 tahun lalu
Sebagai Sarjana kedokteran, Raisa tidak merasa cukup dengan
ilmu yang telah diperolehnya. Ia berniat melanjutkan studinya ke luar negeri.
Sambil magang di salah satu rumah sakit swasta, ia mulai mempersiapkan segala
yang dibutuhkan untuk mewujudkan keinginannya itu, mulai dari berkas-berkas,
fisik, mental, serta kemampuan berkomunikasi dalam berbahasa asing.
Sempat ridha ibu membantahkan keinginannya. Rasa sayang
seorang Ibu yang besar terkadang memang memberatkan langkah seorang anak
perempuan. Raisa tak lelah meminta, dan melalui bapaklah hati ibunya
terluluhkan. Saat ridha kedua orangtua telah digenggam, Raisa semakin semangat
memperjuangkan cita-citanya. Lelah terkadang mendera, namun Raisa segera
mengusirnya dengan bayangan indah tentang mimpi-mimpinya. Tak lupa ia
melengkapi usahanya dengan doa, merayu agar Allah mengabulkan keinginannya.
Buah matang dipetik setelah masanya. Berkali-kali Raisa
merasa hampir berhasil, namun gagal. Buah itu belum matang, belum saatnya ia
memetiknya. Ia kemudian tersadar, Ketergesaan yang lampau mengajarkannya
kesabaran kini, kekhilafan yang lalu memperbaiki niatnya sekarang. Doa ia
perkuat, ia yakin Tuhannya tidak pernah tidur.
Tanggal 7 akhir tahun, kabar baik itu akhirnya datang. Setelah
seleksi berkas, wawancara, Raisa akhirnya dinyatakan sebagai salah satu
penerima Türkiye Scholarships, program beasiswa
yang dibiayai oleh pemerintah Turki. Hujan syukur mengalir deras dari
dalam hatinya, hamdalah tak lepas terucap dari bibirnya. Ibu dan bapak menjadi
saksi betapa putri mereka sangat bahagia hari itu.
Tes yang selanjutnya harus ia lakukan adalah tes kesehatan.
Tidak ada kesulitan berarti bagi Raisa untuk menjalani tes ini. Bidang yang ia
geluti serta kesehariannya sebagai intern di rumah sakit membiasakannya hidup
sehat. Dokter tidak boleh sakit, begitu motto hidupnya. Akhirnya ia pun
dinyatakan lolos medical check up.
***
Hari ini
Raisa tertegun, menyangka dirinya sedang berhalusinasi.
“Bagaimana, Nak?” Pak Muslim menyentuh tangan putrinya itu.
Agak lama Raisa terdiam. Tak pernah ia duga, sosok yang berada di depannya menjadi orang pertama yang menemui walinya. Raisa mengira bertahun tak jumpa dan kabar tak bersua telah menghapus semua keterkaitan diantara mereka berdua. Tapi nyatanya, orang itu masih mengingatnya, dan ia muncul dengan pribadi yang jauh lebih baik, pun dengan niatan yang baik.
Setelah menghela napas dalam, akhirnya ia angkat bicara, “Isa tidak bisa menjawab sekarang, Pak. Jika Ka Izzi
berkenan, insyaallah Isa akan memberikan jawaban minggu depan, di hari yang
sama.”
Langganan:
Postingan (Atom)