Selasa, 30 September 2014

Izinkan Aku Pacaran!! (Kalam Basmala)

Semalam Kajian Islam Basmala (Kalam-Basmala) perdana semester ini. Peserta membludak memenuhi ruangan, membuat senyum terkembang penuh harap. Sebuah kemustahilan jika berkaca dari Kalam satu tahun lalu dengan peserta yang sangat jarang melebihi jumlah jari tangan dan kaki. Semoga ini menjadi awal yang baik bagi pergerakan dakwah kami tahun ini, dan akan terus membaik. Semoga kami para pengurus, pun teman-teman Basmala selalu diringankan untuk melangkahkan kaki dalam kebaikan, dengan niat yang selalau diluruskan.
Ada sedikit oleh-oleh, atau anggaplah ini notulensi dari jemari yang tergerak untuk menari bersama ekspresi hati. Tak berharap banyak, moga saja tulisan ini dapat bermanfaat.
“Cinta dalam Pandangan Islam” menjadi bahasan kajian semalam. Sang Ustadz, dengan ekstrim membawakan materi dengan judul “Izinkan Aku Pacaran!”. Kata pacaran seringkali disandingkan dengan cinta. Berbicara tentang cinta, selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi mahluk-mahluk galau, terutama mahasiswa tingkat menengah ke atas. Cinta itu fitrah. Apapun yang tidak sesuai dengan fitrah, yang masuk ke dalam diri kita, akan menyakiti dan melukai. Jika begitu, apakah yang kita rasakan saat ini cinta? Apakah penyebab kita berlarut-larut curhat sambil menangis itu cinta? Apakah status-status menyakitkan tentang si dia selama ini karena cinta?
Cinta bukan sekedar ekspresi perasaan seorang ikhwan. Cinta lebih dari itu, begitu kata Ustadz Eri. Cinta itu rasa sakit seorang bunda ketika 9 bulan mengandung. Cinta itu kelelahan seorang bunda ketika 2 tahun menyapih. Cinta itu kesabaran bunda saat mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. Cinta itu tetes lelah ayah yang rela berpeluh demi buah hati. Dari kesemua itu, bermuaralah cinta dari Sang Pencipta yang tak pernah melupakan makhluk-Nya. Lalu pada siapa selama ini kita melabuhkan cinta? Another one? Sungguh tega.
Rasa suka, juga cinta adalah fitrah. Kesalahan justru muncul dari para pencinta sendiri. Penyebabnya adalah rasa takut, ketidakberanian untuk mengungkapkan cinta. Bukan mengungkapkan dalam konteks untuk menjadi seorang pacar, itu hanya mengubah ketidakberanian menjadi ketidakbertanggungjawaban. Karena ketenangan juga kedamaian tidak akan didapat dari proses berpacaran. Lalu bagaimana? Mudah saja, jika sungguh dirimu cinta, sampaikanlah pada yang berhak melepasnya untukmu.
Allah berfirman: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk, dalam bentuk emas dan perak,…” Q.S Al-Imran:14. Muslim ra. mengatakan bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah. Jika boleh, dapatlah dibentuk kalimat wanita adalah perhiasan yang bisa menjadi indah. Mengapa harus bisa menjadi? Bukankah wanita memang indah? Mengutip ucapan sang ustadz, dalam ilmu estetika, perhiasan akan terlihat indah jika memenuhi tiga syarat, yatu waktu, tempat dan cara. Dari ketiga syarat tersebut dapat ditarik simpulan kapan wanita akan terlihat indah, yaitu ketika setelah menikah (waktu), dalam berumah tangga (tempat), dengan cara menikahinya (cara). Meski begitu, menikah pun tidak sesimpel hanya karena cinta. Muarakanlah hanya karena Allah, karena dengan ridha Sang Baqa,  mahligai pernikahan dapat dinaungi dengan kekekalan.
Kembali pada cinta. Saat hati akan tergelincir dengan berteriak “Izinkan Aku Pacaran!!”, atau sudah terjerembab pada cinta yang bukan haknya, bangkitlah lagi. Tumbuhkanlah kemauan untuk bangkit dan memperbaiki diri dengan mengingat semua pengorbanan orang-orang yang mencintai kita sepenuh hati. Jika perlu, bandingkanlah dengan pengorbaban cinta orang yang tak seharusnya kita cinta. Optimis sekali, hati putih akan berkata bahwa kita keliru dalam melabuhkan cinta.

Selasa, 12 Agustus 2014

My Beloved Father



“Kullu nafsin dzaaiqotul mauut…” (Al-Ankabut:57)
Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Aku tahu itu, dan sangat paham karena kau yang mengajarkanku, Pak. Sikap zuhudmu yang selalu mengingatkanku bahwa manusia takkan selamanya di dunia, dan akhiratlah tujuan yang sesungguhnya.
***
“Ma, bapak apa kabar?”
“Alhamdulillah sudah membaik, sudah agak stabil, tapi masih harus kontrol. Engga apa-apa, fokus saja belajar, De. Kalo yang ngurusin bapak mah mama dan yang lain ko.”
“Iya, kan masa aku sama sekali engga nanyain kabar bapak.”
“Iya, berarti itu tandanya kamu sayang orangtua.”
“Mah, bilangin ke bapak harus sehat ya, kan belom ngewaliin aku. Hehe, becanda.”
“Iya insyaallah nanti dibilangin, tapi sekarang bapaknya udah tidur. Tadi habis isya langsung minum obat terus tidur.”
“Oh, iya.”
Kurang lebih seperti itulah percakapanku dan mama, semalam sebelum kepergianmu, Pak. Tidak sama sekali kumenyangka bahwa itu menjadi malam terakhir mama mengobrol denganmu. Tidak juga kusangka bahwa esok hari aku akan mendengar kabar yang begitu menohok tentangmu. Yang jelas malam itu aku tidur nyenyak, karena esok pagi aku akan pergi ke Bandung, menghadiri acara pernikahan Kaka tingkatku. Aku pernah bilang padamu, kan Pak?
Pagi hari aku bangun seperti biasa. Aku maklum karena keadaanmu yang sekarang, dirimu sudah lama tidak lagi membangunkanku saat subuh. Namun pagi itu ada panggilan tak terjawab dari nomormu. Kufikir kau berniat membangunkanku. Aku tak ambil pusing. Tak lama, muncul sms yang mengatakan aku harus pulang hari itu dan membatalkan kepergianku ke Bandung. Why? Bahkan semalam mama menyuruhku untuk tidak khawatir tentangmu, tapi kenapa sekarang menyuruhku pulang?? Terbersit fikiran yang tidak-tidak tentang, namun meski aku tidak diberitahu dengan jelas tentang keadaanmu, aku tahu dirimu masih ada.
Sempat aku merasa kesal. Maafkanku, Pak. Tapi aku tetap memilih pulang. Terlebih dua hari bertutur-turut aku memang bermimpi ditinggal pergi ke Bandung. Tidak, aku tidak begitu percaya firasat. Karena tanda-tanda itu hanya akan terbaca setelah kejadian sebenarnya terjadi. Aku hanya menganggapnya sebagai mimpi biasa.
Karena tidak dapat tiket kereta, aku memutuskan untuk naik angkutan biasa. Dan kau pasti tahu kondisi jalanan Bogor-Sukabumi, Pak, begitu padat. Bahkan untuk jarak sedekat Jakarta-Sukabumi, aku harus mengahabiskan waktu 6 jam!! Sepanjang perjalanan aku gregetan ingin segera sampai ke rumah sakit tempatmu dirawat.
Aku tidak pernah menangisimu sebelumnya, sebelum dirimu sakit-sakitan. Dulu dirimu begitu gagah, tidak pernah menampakkan kesedihan dan kesusahan. Sebaliknya, dirimu selalu siap mendengarkan keluh kesah kami kapanpun. Apapun yang ingin aku ketahui, orang pertama yang aku tanya adalah dirimu. Karena aku percaya, kau tidak akan pernah memberikan jawaban yang menyesatkan.
Melihatmu terbaring tak berdaya, dengan berbagai macam selang yang yang menyokong hidupmu, aku tak kuasa untuk tidak menangis. Entah kau menyadari kehadiranku atau tidak, aku hanya mampu menatapmu dan mengawasimu diam-diam seharian itu. Bahkan hanya sekali aku mengajakmu bercakap, sekedar mengatakan aku sudah pulang, aku ada di sampingmu. Yang kuyakin saat itu, aku akan bisa bercakap denganmu setelah kau siuman nanti. Lekas kembali, Pak, kami masih menunggumu.
9 jam, 12 jam, 15 jam dirimu terbaring, tak kunjung siuman. Saat kami bersiap untuk lelap sejenak, bibi keluar dari kamarmu dalam keadaan menangis. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menangis.  Aku terkejut, sudah tentu. Namun sebelum aku melihat sendiri, aku tidak ingin berspekulasi apa-apa. Setengah yakin dengan apa yang kulakukan, aku berjalan menuju ruanganmu. Sudah banyak orang berkumpul di situ, pun para dokter. Mereka melakukan resusitasi jantung-paru (RJP) untuk kembali menormalkan denyut jantungmu.  Beberapa saat aku di tempat itu, dokter mengumpulkan aku dan kakak-kakak. Dia bilang semua organ vitalmu sudah tidak berfungsi, Pak, hanya tersisa denyut jantung yang semakin melemah. Dan saat juga dia meminta izin pada kami untuk melepaskan semua alat bantu yang ada di tubuhmu, karena dirimu sudah tak bisa ditolong lagi. Dirimu sudah pergi, Pak!! 9 Agustus 2014, itu hari terakhirmu ada di dunia. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.
Kendatipun sudah kusiapkan telingaku untuk mendengar kabar ini, tak begitu dengan mentalku. Tetap saja aku melemas dengan air mata yang kembali membanjir. Kaki dan tanganku kebas bagai tak berdarah. Anak mana yang tidak sedih ketika orangtua yang disayanginya terbujur kaku di depan mata dan dinyatakan meninggal oleh orang asing yang baru ditemuinya? Kau bisa tahu perasaanku kan, Pak?
Saat aku digandeng keluar ruangan, kulihat pemandangan yang memilukan dari mama. Adik-adiknya berusaha menenangkan mama, meski sekilas kulihat merekapun mesakan kesedihan atas kepergianmu. Malam itu juga kami berkemas pulang, tidak jadi bermalam di rumah sakit. Sedih sekali kepulangan kami kali ini bukan membawa dirimu, hanya membawa jasadmu, Pak.
Kesedihanku, mama, dan semua orang malam itu begitu hebat sehingga mampu memupus rasa lelah kami hari itu. Berkali tangisan mama kembali meledak. Bersyukur aku memiliki kakak-kakak yang tegar dan siap meminjamkan bahunya untukku dan mama. Malam itu, aku menatap jasadmu yang diam tak bergeming. Demi apapun aku sangat takut pada mayat, tapi aku kini duduk di samping kepalamu yang takkan pernah mampu menoleh lagi saat aku memanggilmu. Dulu kau sering bilang “Untuk apa takut pada mayat, mereka takkan bisa bangkit lagi. Jangan berfikir orang mati akan sempat bergentayangan menakutimu, mengurusi urusannya dengan Allah saja dia sudah sangat sibuk”. Sembari membacakan ayat-ayat cinta dari Sang Pemilik Yang Telah Memanggilmu, aku terus mencuri pandang padamu, berharap dadamu kembali naik-turun. Meski kutahu itu hanya harapan kosong.
Bapak, dulu aku tidak begitu tahu bagaimana orang-orang menganggapmu. Pagi ini, demi melihat begitu banyak orang yang berbondong-bondong ikut serta menyolatkan dan menguburkanmu, aku yakin dirimu bukan orang ‘sembarangan’ bagi mereka. Diantara pelayat, hanya sedikit yang aku kenal, tapi kebanyakan mereka mengenalku. Aku tersadar, ternyata dirimu begitu bangga padaku, bangga dengan  prestasiku yang tidak seberapa hingga selalu menceritakanku pada teman-temanmu. Mereka mengenalku karena kau, Pak. Semasa kau hidup, aku akui aku tidak begitu dekat denganmu. Tapi tentu kita saling menyayangi.
Langit mendadak suram, mendung, tidak panas, pun tidak menunjukkan tanda akan turun hujan. Cuaca pun mendukung pemakamanmu, Pak. Kuyakin di antara kami ada para malaikat sudah berbaris, siap mengikuti proses serah terima ini. Kami menyerahkanmu, para malaikat menerima dan mengantarkanmu ke hadapan Ilahi Rabbi. Aku yakin itu, karena kau orang baik, Pak. Orang-orang menyalamiku, menguatkanku, aku mengangguk. Tangan-tangan silih berganti menggandengku, mungkin khawatir aku akan ambruk.
Proses selesai. Salah satu dosenku pernah bilang, manusia akan melewati tiga gerbang: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Bapak sudah melewati semuanya. Tugas bapak di dunia ini sudah selesai. Aku tidak begitu khawatir melepasmu, Pak. Lisanmu yang selalu basah dengan ayat-ayat Quran kuharap dapat meringankanmu saat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari malaikat. Pun dengan amalan-amalan yang lain, kuharap itu menjadi bekal yang dapat menyelamatkanmu di sana.
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda: Jika anak Adam meninggal, maka amalnya akan terputus kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak-anak sholeh/sholehah.” (HR Muslim)
Perkara pertama, hanya dirimu dan Allah yang tahu. Untuk perkara kedua, aku berdoa semoga bertahun-tahun masa pengabdianmu menjadi pengajar dapat mengantarkan pahala atas semua ilmu yang telah kau manfaatkan. Dan perkara ketiga, inilah kesempatan kami, anak-anakmu, untuk membantumu di alam kubur sana, menjadi anak-anak yang sholeh agar segala doa kami dapat dikabulkan oleh-Nya.
Jika kumelihat ke belakang, begitu banyak hal ganjil pada dirimu. Kau selalu mengantar keberangkatanku saat aku harus kembali menjalani rutinitasku di tempat rantau, namun tak pernah menjemput kepulanganku. Namun kepulanganku saat Ramadhan kemarin, kau menjemputku di statsiun, bahkan tanpa memberi tahuku terlebih dahulu. Kuingat wajahmu saat itu masih terlihat ceria, sumringah dengan kedatanganku.
Kita menjalani Ramadhan bersama, meski kurasa beda. Karena kondisimu, kita tidak lagi rutin salat malam berjamaah. Aku bersyukur, setidaknya satu malam aku pernah bermakmum padamu, untuk terakhir kalinya. Semakin hari wajahmu semakin tirus, sudah langka menampakkan senyuman, lebih sering kulihat matamu menatap kami dengan sedih. Mungkin saat itu dirimu sudah tahu waktumu akan segera tiba.
Begitulah perasaanku kini, Pak. Sengaja kutuliskan segera, sebelum rasa ini memudar terpupus waktu.
Walau begitu, yakinlah, Pak, kami tidak akan pernah melupakanmu. Kepergianmu merupakan harga yang begitu mahal yang harus kami bayarkan untuk mendapatkan tamparan keras agar kami kembali menyadari tujuan hidup, serta terus memperbaiki diri.
Selamat tinggal, selamat beristirahat. Jika kau sempat, berkunjunglah sesekali ke dalam mimpi kami. Seperti tadi malam, saat kau datang dengan senyuman yang merekah, setidaknya itu menenangkanku bahwa kau baik-baik saja di sana.
Semoga kau termasuk jiwa-jiwa yang tenang yang diridhai Allah untuk memasuki syurga-Nya, seperti yang dijanjikan dalam surat Al-Fajr.
Untuk Bapak tersayang.
Depok, 12 Agustus 2014

Selasa, 10 Juni 2014

Love You...



Ketahuilah, saat hati ini tergerak untuk membenarkan, bukan berarti diri sudah benar dan sempurna. Khilaf kalian kini, mungkin menjadi khilafku di masa lalu. Kesalahan kalian kini, mungkin pernah menjadi kesalahanku dulu. Kalian tahu? Kini aku menyesal dan tak bisa memutar waktu. Yang bisa kulakukan hanyalah mencegah kalian terlambat menyadari kesalahan dan merasakan penyesalan.
Orang yang dapat mengoreksi kekurangan sahabatnya itu mahal, padahal saling menasihati dalam kebaikan itu sangat dianjurkan. Kita mungkin akan sangat mudah mengenali kesalahan dan kekurangan orang lain. Namun adakah keberanian dalam diri kita untuk menyampaikan kepada orang yang bersangkutan? Sangat jarang. Tinggallah kata-kata itu tersangkut di dalam kerongkongan tanpa pernah terucap oleh lidah.
Kita tidak pernah tahu, seberapa besar efek yang ditimbulkan jika kita berani mengoreksi kekurangan sahabat kita. Hanya butuh keberanian, bukan barang mahal tapi sangat langka. Analogikan saja sahabat kita adalah seseorang yang rajin telat. Semakin lama ia menjadi aktivis telat kelas akut sehingga demikian banyak orang yang menggunjing dan tidak menyukainya. Andaikan sedari awal kita mempunyai keberanian untuk menegurnya, saat kebiasaannya tersebut belum mendarah daging, mungkin hal buruk ini tidak pernah terjadi pada sahabat kita tercinta.
Ada kalanya kita merasa ragu untuk berkata karena tingkah laku kita yang masih ada cela. Cobalah berfikir dari sisi lain. Manusia tidak akan pernah sempurna. Jika untuk mengoreksi kita harus menjadi orang benar dulu, sampai mati pun kita tidak akan pernah berkesempatan untuk melakukannya. Apa salahnya kita menegur kekhilafan sahabat kita, lalu bersama-sama memperbaiki diri? Bukankah berjalan beriringan itu lebih indah dan mudah?
Kehadiranmu di hidupku adalah anugerah bagiku. Semoga kehadiranku di hidupmu membawa berkah bagimu. Kedekatan diantara kita bukan dikarenakan kita adalah orang baik, tapi semata-mata karena Allah masih mau menutupi aibku dari pengetahuanmu, pun aibmu dari pandanganku.
Jika engkau memiliki sahabat yang membawamu pada ketaatan kepada Allah, maka genggmlah ia erat-erat, jangan lepaskan.” –Imam Syafi’i-

Jumat, 16 Mei 2014

Kajian Muslimah Terakhir



Jumat, 11.45, mushola kampus…
“Sabar itu bisa dikategorikan menjadi tiga: sabar dalam beribadah kepada Allah, sabar dalam menahan diri untuk tidak berbuat maksiat, serta sabar dalam mengahadapi musibah.
Sabar dalam beribadah kepada Allah banyak bentuknya, salah satunya adalah sabar dalam melakukan sholat. Misalnya si saat sholat empat rakaat kita hanya berdurasi 2 meni, orang sholeh lain mungkin mampu melakukan sholat subuh selama 5 menit atau lebih. Sholat yang terburu-buru seperti itu bisa mengindikasikan ketidaksabaran kita dalam beribadah. Sholat adalah doa, melakukan sholat berarti juga berdoa. Bagaimana bisa kita ingin keinginan kita dikabulkan oleh Allah sedangkan dalam berdoa saja kita tidak bisa bersabar?
Maksiat bisa timbul dari semua indera yang dimiliki oleh manusia, melalui penglihatan, pendengaran, ucapan, juga melalui sentuhan. Menahan diri dari melihat lawan jenis yang bukan mahram termasuk ke dalam bersabar. Menahan diri untuk tidak mendengarkan pembicaraan yang tidak bermanfaat termasuk ke dalam bersabar. Menahan diri untuk tidak berucap selain hal yang benar dan bermanfaat, termasuk usaha untuk bersabar. Pun menahan diri untuk tidak menyentuh atau bersentuhan dengan yang tidak halal, merupakan kategori dalam bersabar.
Kategori ketiga merupakan yang lumayan berat, jarang sekali orang mampu bersabar ketika dihadapkan pada sebuah ujian atau musibah. Padahal, dalam Al-Quran sendiri Allah sudah menekankan bahwa apapun yang menimpa orang beriman, akan bernilai kebaikan. Jika ia mendapat anugerah ia akan bersyukur, dan jika ia mendapat musibah ia akan bersabar. Masyaallah…”
“Nah, lalu bagaimana dengan bersabar dalam menghadapi problema sehari-hari dengan teman ataupun lingkungan?? Seringkali kita ‘dipaksa’ untuk bersabar terhadap tingkah orang-orang di sekitar kita yang terkadang ‘nyebelin’,  padahal kan sabar ada batasnya.”
“Allah tidak akan membiarkan seseorang yang berusaha menjadi baik tanpa memberinya ujian. Bisa jadi teman-teman atau orang-orang di sekitar kita yang kadangkala bertingkah ‘unik’ sebenarnya merupakan ladang kita untuk bersabar, ladang kita untuk menaikkan derajat kesabaran kita.
Perlu diketahui, sabar itu tidak ada batasnya, karena ganjaran yang telah dijanjikan Allah terhadap orang-orang yang mampu bersabar pun merupakan kenikmatan yang tidak ada batasnya. Hanya saja sabar bukan berarti selalu diam. Ingat, sabar bukan berarti diam. Kita contohkan saja dalam sebuah organisasi ada satu oknum yang sedikit bermasalah. Setiap amanah yang diberikan kepadanya tidak pernah terselesaikan. Sekali dua kali mungkin kita bisa bersabar dengan diam. Namun, hal ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Oknum macam ini bisa menjadi virus yang menular dalam sebuah organisasi jika tidak ditindak tegas. Teguran secara personal atau melalui orang yang lebih mempunyai power bisa dijadikan sebagai alternatif untuk memangkas virus macam ini.”

Jumat, 16.15, ruang kelas…
“Tau ga? Masa tadi orang itu bertingkah lagi. So’ mau berkontribusi banyak di acara divisi kita, tugas dia di divisinya aja kagak kelar-kelar. Show up banget.” Omelku sambil mencorat-coret kertas kosong. Sosok di sampingku diam saja, aku tidak puas.
“Nah terus, si itu, yang make up nya menor itu, dia sama temen-temennya tadi berisik banget coba pas di toilet, ambisius banget tuh dia mau naik jadi ketua Padus.”
“Ssst, inget kajian tadi siang.” Ucap suara di sampingku lirih.
Astagfirullah, aku langsung diam. Jawabannya sangat singkat, tapi cukup mampu membuatku berfikir bahwa waktu yang aku luangkan untuk menghadiri kajian tadi siang menjadi sia-sia.

Sekedar refleksi, disadari ataupun tidak, seringkali ilmu-ilmu yang telah telinga kanan kita tangkap, akan keluar lagi dengan lancar lewat telinga kiri. Ilmu Consumen Behavior mengatakan: manusia hanya akan mendengar apa yang ingin ia dengar. Jadi, mungkin saja terpentalnya semua informasi yang kita dengar disebabkan karena kita tidak ingin atau tidak enjoy mendengarkannya. Begitupun dengan materi-materi kajian. Seberapa banyakpun kajian yang diikuti dengan materi-materi yang menarik, tidak akan mampu merubah perilaku kita jika dalam hati kitanya saja masih ada noktah kotor yang menghalangi kita untuk menerima kebenaran.

 

Sabtu, 03 Mei 2014

Kebangkitan Raisa



Raisa menghampiri ayahnya, Pak Muslim. Di hadapan mereka telah duduk seorang pria tampan dengan pakaian yang sangat rapi. Sempat Raisa tak mengenali sosoknya, namun sejurus kemudian ia tertegun. Segaris alis hitam tebal di atas matanya menyadarkan Raisa bahwa orang itu bukan orang asing baginya.
“Nah, ini putri bapak, Raisa.” Pak Muslim memperkenalkan Raisa kepada pemuda tersebut, “Isa, perkenalkan, pria di hadapanmu ini adalah orang yang bapak kenal baik selama kamu bersekolah di Turki. Dia yang selalu menemani bapak menghadiri pengajian-pengajian. Tahun lalu dia baru saja menyelesaikan S2 nya dan kini sudah bekerja di salah satu perbankan syariah. Kedatangannya kali ini mempunyai maksud yang baik bagimu, insyaallah.” Pak Muslim meneguk kopi yang dibuatkan istrinya, “Nah, sekarang, sampaikanlah langsung maksudmu yang tadi sudah kau ceritakan pada bapak, Nak.” Pak Muslim berkata lembut pada pemuda tersebut.
“Ada apa ini, Pak?” Raisa yang baru saja datang dari kajian tentulah heran. Alih-alih menjawab pertanyaan putrinya, Pak Muslim malah tersenyum dan menyuruh putrinya untuk duduk bersamanya.
“Emh, Hai, Isa. Apa kabar?” Pria itu mulai berbicara. Raisa menjawab pertanyaannya lirih.
“Maaf jika terkesan tergesa dan mendadak. Tadi sudah sempat saya sampaikan pada Bapak tujuan saya datang kemari. Jika Allah mengizinkan, dan jika kamu berkenan, saya bermaksud untuk melamarmu….”
***
7 tahun lalu
“Isa, pulang bareng yuk.” Andre menjajari langkah Raisa.
“Aku masih ada kelas, duluan aja.” Jawab Raisa sambil tersenyum.
“Aku tunggu deh. Nanti kabari ya.” Andre membuat janji sepihak. Setengah bingung, Raisa tak bisa menolak.
Kelas Kalkulus tidak begitu menarik bagi Isa. Dua jam yang terasa sangat lama, akhirnya usai. Andaikan bukan mata kuliah wajib bagi mahasiswa tingkat satu, ia tidak akan pernah mau mengambilnya. Raisa berjalan menyusuri koridor kampus. Hampir saja dia melupakan Andre jika pemuda itu tidak segera berlari dan muncul di hadapannya.
“Yah, kok gak ngabarin?” Protes Andre dengan nafas tersenggal.
“Eh, ini baru mau gue kabarin.” Kilah Raisa sambil mengambil ponselnya.
“Ya udah yuk pulang.” Andre berjalan di sampingnya.
Sepanjang perjalanan, keduanya tak henti bercakap. Maklumlah teman baru, segala informasi dikorek demi menjadi teman yang dapat saling memahami. Sifat Andre maupun Raisa yang humble membuat keduanya mudah akrab, terlebih mereka merupakan perantau yang berasal dari daerah yang sama. Raisa merasa menemukan tempat bergantung di dunia baru yang asing. Begitupun sebaliknya, adanya Raisa membuat Andre merasa menjadi orang yang dapat diandalkan.

Minggu berganti bulan, hubungan Raisa-Andre semakin akrab. Meski tak selalu bersama, komunikasi mereka tidak pernah terputus. Khalayak menduga mereka berpacaran. Namanya remaja, ketertarikan  antar lawan jenis menjadi hal yang sudah biasa. Meski terkadang merasa bersalah pada seseorang, Raisa selalu berfikiran tidak ada yang salah antara hubungannya dengan Andre. Dia catatkan dalam hatinya, dirinya dan Andre hanya berteman.

Handphone putih itu bergetar, sebuah pesan masuk. Sekilas Andre melirik, tertangkap sebaris nama oleh matanya. Raisa segera membalas pesan tersebut.
“Izzi?” Tanya Andre.
Raisa mengangguk, “Hari ini dia kerja shift malam.” Terangnya sambil kembali meletakkan HPnya.
Kali ini mereka sedang berada di salah satu tempat makan, menikmati dinginnya malam kota Bandung.
“Sa, boleh ngomong sesuatu?” Andre memecah keheningan yang tiba-tiba tercipta.
“Ngomong aja sih, Pak, biasanya juga bawel.” Ujar Raisa sambil tertawa.
“Hehe. Penasaran aja, sebenarnya hubungan kita ini apa sih?” Andre menatap mata Raisa serius.
Meski sudah menerka, tak urung Raisa terkejut juga, “Hubungan kita… ya temanlah, memangnya apa? Ayah dan anak?” ujarnya bergurau, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Begitu kah? Pengen tahu aja sih bagaimana dari sudut pandang loe. Gue fikir kita lebih dari teman.” Tukas Andre. Lagi-lagi hening. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, saling menyelami hati sang lawan bicaranya. Gagal memecah suasana yang kadung membeku, keduanya memutuskan untuk pulang.

Mentari menyusup dicelah gorden bermotif ribbon. Raisa masih bergelung dengan selimut. Baginya, minggu pagi adalah saat yang tepat untuk melengkapi jatah istirahatnya yang disunat setiap malam-malam weekdays. Tak lama kemudian, lagu mirror berdering dari handphonenya. Setengah sadar Raisa menerima panggilan tersebut.
“Hallo, sayang…”
“Hai cantik, lagi apa?” tanya suara pria di seberang.
“Masih tidur, hehe.” Raisa menjawab manja.
“Huuu, bangun dong, udah siang.” Ujar suara itu lagi.
“Masih ngantuk ah. Ka Izzi hari ini engga kerjakah?”
“Engga sayang, ini mau ngampus bentar lagi.”
“Ya udah, hati-hati ya.”                                                                                   
“Ngusir nih? Mentang-mentang masih ngantuk, pacarnya dicuekin?” Izzi menggoda.
“hehe, biarin deh. Kan pacar Isa penyabar.”
“Aih gombal. Ya udah, kaka berangkat dulu ya sayang. Bangunnya jangan siang-siang. Bye, miss you.”
“miss you.” Raisa menutup telepon dan melanjutkan tidur.

Hari-hari berikutnya terkesan janggal. Sejak kejadian malam itu, Raisa dan Andre seperti saling menjauh. Seperti kutub yang sama pada dua magnet. Raisa bagai hidup di ruang hampa. Tanpa Andre, tidak ada yang membuatnya bersemangat saat berada di kampus, pun saat melakukan aktivitas lainnya. Saat tak sengaja berpapasan, Andre selalu memalingkan wajah, pura-pura tak melihat. Raisa mulai merasa kesepian. Bahkan Izzi semakin sibuk dengan jadwal kuliah serta pekerjaannya.
Tak tahan menjadi orang yang tak dianggap, Raisa akhirnya berinisiatif untuk memulai percakapan. Dengan terus terang, Raisa menanyakan pada Andre apa yang sedang terjadi diantara mereka. Dia juga bertanya apa salahnya jika hubungan mereka hanya sebatas teman? Apakah hubungan pertemanan tidak terlalu agung sehingga Andre menginginkan lebih? Apa salahnya mereka saling peduli dan mengerti sebagai sepasang teman?
Setelah percakapan yang memakan waktu sekitar 1 jam, tidak ada yang berubah. Andre tetap kukuh menjaga benteng beku diantara mereka. Raisa menyerah.
Hubungan Raisa dengan Izzi pun semakin buruk. Komunikasi tidak lagi selancar dahulu. Pesan dua hari sekali termasuk kategori sering bagi hubungan mereka kini. Merasa tak lagi dipedulikan, Raisa akhirnya mundur perlahan dari kehidupan Izzi, meski hubungannya dengan Andre tak pernah beranjak dari status pertemanan.
***
6 tahun lalu
Siang itu gerimis. Waktu masih berbilang dhuhur, kantin tidak begitu ramai. Raisa duduk diam, sendiri menikmati makan siangnya. Orang berlalu lalang, namun tidak ada yang ia kenal. Ketidaksengajaan datang terlambat membuatnya memutuskan untuk bolos pelajaran Fisika. Terlebih efek perut kosong membuat kepalanya sedikit pusing.
“Ren, kasian banget sih orang-orang kaya lo.” Suara lantang pria terdengar dari balik punggungnya.
“Kenapa memangnya?” sahut sang lawan bicara.
“Ya iya, keyakinan lo kan cuma lahir, hidup, terus mati.” Jawab suara pertama. Raisa menguping, penasaran dengan arah bicara keduanya.
“Kan namanya juga keyakinan, beda-beda tergantung agama yang dianut.” Tukas suara kedua santai.
“Ia sih,  tapi ya hampa banget gitu. Hidupnya cuma mikirin dunia, bahagia cuma di dunia juga.” Kata suara pertama lagi.
“Halah, Lo solat aja ditinggal mulu, makan minum maen sabet aja, kagak doa dulu. Hafal kagak lo doanya? Atau jangan-jangan kagak tau? Gue sih kayak gini ibadah tiap minggu kagak pernah ketinggagalan bray. Kalo mau makan juga gue doa dulu.” Si suara kedua berkata lugas.
“Enak aja kagak pernah solat. Gue tuh suka solat tauk." Protes suara pertama, "Kadang-kadang sih." Lanjutnya pelan. Keduanya tertawa, entah bagian mana yang lucu.
Raisa tersentak, seperti ada yang menampar keras dirinya. Dia bangkit, berjalan tergesa. Dua pasang mata memperhatikan kepergiannya, heran dengan tindakannya yang tiba-tiba. Langkah Raisa tertuju pada satu arah, mesjid. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.45.

Raisa mulai jenuh dengan kehidupan dunianya yang terus-terusan mengejar dunia. Berawal dari kejadian di kantin beberapa hari yang lalu, dia mulai sering mendatangi mesjid. Bagai skenario yang telah disusun rapi, kebiasaan barunya ini memberinya kesempatan untuk mengenal komunitas dakwah di kampusnya. Bagai bertemu oase di padang pasir, Raisa meneguknya dengan sukacita. Di sini dia merasakan suasana yang berbeda, kebahagiaan yang tidak hanya berkutat pada kehidupan dunia, tetapi juga pada kehidupan setelah mati. Perlahan Raisa mulai berbenah, kembali menyelami makna penciptaan seorang makhluk bernama manusia.
Teman-teman barunya sangat ramah. Mereka menyambut Raisa layaknya bagian keluarga yang sudah lama tak bersua. Melalui kedekatannya dengan para akhwat tersebut, Allah menggerakka hati Raisa untuk bangkit menjadi insan yang sesungguhnya. Keputusannya untuk berjilbab sungguh memberikan kebahagiaan pada keluarga tak sedarah ini.
Dzohir yang sudah tertutup hijab tak serta merta mengubah Raisa menjadi gadis alim tanpa cacat. Masih banyak yang perlu dilakukannya selain memperbaiki akhlak, yaitu menghijabkan hati. Raisa tahu ini berat, tapi dia yakin, hijab fisiknya akan menjadi salah satu pendorong ia untuk mencapainya. Tertatih ia mulai melupakan Andre sang manusia salju, serta Izzi yang tak pernah lagi ia ketahui rimbanya.
Jatuh bangun Raisa mensterilkan hati dari kontaminan-kontaminan yang ada di sekitarnya. Memangnya dikira akhwat bersih dari godaan dari lawan jenis? Tidak. Meski hijab telah menutup aurat, selalu ada celah bagi setan untuk menggoda, terutama melalui makhluk berjenggot tipis bermerk ikhwan. Tampilan yang rupawan serta akhlak menawan menjadi nilai plus yang ditawarkan setan dalam mempromosikan ‘produknya’ ini. Pernah sekali Raisa  terseret  godaan macam ini. Syukurnya para akhwat di sampingnya dengan sigap menariknya.
Suatu ketika Raisa mengadu pada murabbinya.
“Mbak, Isa bingung sama diri sendiri. Sepertinya Isa punya masalah serius. Isa selalu bergantung kepada sosok laki-laki, seperti ketergantungan yang sulit dihilangkan.” Raisa memulai ceritanya.
Mbak Hasna tersenyum, “Sebenarnya itu hanya sangkaan diri sendiri. Ketergantungan kepada sesuatu atau seseorang merupakan rasa nyaman yang timbul karena terbiasa. Bisa jadi ketergantungan Isa kepada seorang ikhwan memang karena Isa membiasakan diri atau telah terbiasa bergantung pada ikhwan, ya kan?” tanya sang murabbi.
“Iya, Mbak. Isa pernah berpacaran selama 2 tahun, dan Isa merasa sangat  bergantung pada orang itu. Saat dia engga ada, Isa akan mencari orang lain yang bisa menggantikan posisi dia.” Raisa menangis.
Kembali dengan suara lembut Mbak Hasna berkata, “Semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa kita ya dek. Bersyukurlah Dia sudah menyadarkanmu kini. Maafkanlah masa lalumu. Mekarlah menjadi bunga yang cantik. Janganlah dulu berfikir serangga seperti apa yang akan menghampirimu. Tahukah sebuah ayat yang mengatakan ‘laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya’? Allah tidak akan menyalahi janjinya. Namun bukan berarti dengan ayat ini hijrah kita dikarenakan sesosok makhluknya, tetap niatkan karena Allah.”
Pembicaraan kedua akhwat itu berlanjut hingga magrib menjelang. Sembab kentara di kedua mata Raisa, namun kini hatinya sedikit tenang. Mulai saat itu, ia memutuskan untuk mendedikasikan hidup hanya untuk Allah dan orang-orang yang benar-benar menyayanginya.
***
3 tahun lalu
Sebagai Sarjana kedokteran, Raisa tidak merasa cukup dengan ilmu yang telah diperolehnya. Ia berniat melanjutkan studinya ke luar negeri. Sambil magang di salah satu rumah sakit swasta, ia mulai mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk mewujudkan keinginannya itu, mulai dari berkas-berkas, fisik, mental, serta kemampuan berkomunikasi dalam berbahasa asing.
Sempat ridha ibu membantahkan keinginannya. Rasa sayang seorang Ibu yang besar terkadang memang memberatkan langkah seorang anak perempuan. Raisa tak lelah meminta, dan melalui bapaklah hati ibunya terluluhkan. Saat ridha kedua orangtua telah digenggam, Raisa semakin semangat memperjuangkan cita-citanya. Lelah terkadang mendera, namun Raisa segera mengusirnya dengan bayangan indah tentang mimpi-mimpinya. Tak lupa ia melengkapi usahanya dengan doa, merayu agar Allah mengabulkan keinginannya.

Buah matang dipetik setelah masanya. Berkali-kali Raisa merasa hampir berhasil, namun gagal. Buah itu belum matang, belum saatnya ia memetiknya. Ia kemudian tersadar, Ketergesaan yang lampau mengajarkannya kesabaran kini, kekhilafan yang lalu memperbaiki niatnya sekarang. Doa ia perkuat, ia yakin Tuhannya tidak pernah tidur.

Tanggal 7 akhir tahun, kabar baik itu akhirnya datang. Setelah seleksi berkas, wawancara, Raisa akhirnya dinyatakan sebagai salah satu penerima Türkiye Scholarships, program beasiswa  yang dibiayai oleh pemerintah Turki. Hujan syukur mengalir deras dari dalam hatinya, hamdalah tak lepas terucap dari bibirnya. Ibu dan bapak menjadi saksi betapa putri mereka sangat bahagia hari itu.
Tes yang selanjutnya harus ia lakukan adalah tes kesehatan. Tidak ada kesulitan berarti bagi Raisa untuk menjalani tes ini. Bidang yang ia geluti serta kesehariannya sebagai intern di rumah sakit membiasakannya hidup sehat. Dokter tidak boleh sakit, begitu motto hidupnya. Akhirnya ia pun dinyatakan lolos medical check up.
***
Hari ini
Raisa tertegun, menyangka dirinya sedang berhalusinasi.
“Bagaimana, Nak?” Pak Muslim menyentuh tangan putrinya itu.
Agak lama Raisa terdiam. Tak pernah ia duga, sosok yang berada di depannya menjadi orang pertama yang menemui walinya. Raisa mengira bertahun tak jumpa dan kabar tak bersua telah menghapus semua keterkaitan diantara mereka berdua. Tapi nyatanya, orang itu masih mengingatnya, dan ia muncul dengan pribadi yang jauh lebih baik, pun dengan niatan yang baik.
Setelah menghela napas dalam, akhirnya ia angkat bicara, “Isa tidak bisa menjawab sekarang, Pak. Jika Ka Izzi berkenan, insyaallah Isa akan memberikan jawaban minggu depan, di hari yang sama.”